Oleh : Suroto*
Pernyataan saya mengenai ide perubahan dari BUMN basis perseroan menjadi basis koperasi menuai kontroversi dan diplintir oleh Menteri BUMN, Erick Tohir. Pernyataan yang saya sampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Tim Pemenangan Nasional AMIN di Rumah Perubahan di jalan Brawijaya X No. 46, Jakarta pada tanggal 31 Januari 2024 itu dimaknai oleh Menteri Erick Tohir secara serampangan dengan mengatakan sebagai pembubaran BUMN.
Pernyataan Erick Tohir itu jelas tuna makna, sebab apa yang saya katakan adalah ide mengubah atau mengkonversi BUMN menjadi badan hukum koperasi, bukan membubarkan BUMN. Dia tidak memahami substansi yang saya katakan.
BUMN atau Badan Usaha Milik Rakyat adalah penamaan (nomenklatur) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 9 dikatakan ” BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Ini artinya bahwa seluruh BUMN itu hanya berbadan hukum Perseroan dan Perusahaan Umum.
Dengan pasal tersebut, berarti seluruh BUMN yang hanya merupakan nomenklatur tersebut konsekwensinya menjadi hanya berbentuk badan hukum Perseroan dan Perum. Koperasi sebagai badan hukum persona ficta yang syah dan diakui oleh negara tidak diberikan peluang untuk menjadi badan hukum BUMN.
Padahal, sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana disebut di dalam pasal 33 UUD 1945 dikandung penjelasan secara gamblang bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi itu ialah koperasi. Artinya koperasi sebagai badan hukum persona ficta mengalami diskriminasi dan ini bertentangan dengan pasal 28 D UUD 1945.
Konsekwensinya adalah, koperasi, sebagai model kepemilikan masyarakat yang demokratis dan terbuka, yang memungkinkan seluruh warga negara Indonesia dapat turut memiliki dan berpartisipasi aktif dalam proses kepemilikan asset nasional BUMN menjadi kehilangan kesempatannya.
Penganaktirian badan hukum koperasi terhadap kepemilikan asset negara (BUMN) tersebut menyebabkan rakyat Indonesia secara keseluruhan kehilangan kendali atau kontrol terhadap asset BUMN. Rakyat menjadi kehilangan kesempatan untuk dapat turut menikmati hasil hasil ekonomi secara luas yang diperoleh oleh BUMN.
Tak hanya itu, secara berulang (redundunt), menurut Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12 UU BUMN disebut bertujuan mengejar keuntungan (profit oriented). Akibatnya, seluruh BUMN tidak berbeda lagi dengan usaha swasta; korporasi pengejar keuntungan. BUMN menjadi kehilangan fungsinya sebagai layanan publik (public service obligation) dan rakyat yang menurut UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan kedaulatan (kekuasaan) berada di tangan rakyat menjadi kehilangan maknanya.
Dalam posisi ini, pada akhirnya rakyat hanya diposisikan sebagai objek eksploitasi bisnis semata. Pasal 33 UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi ekonomi menjadi kehilangan artinya. Demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi kita yang memungkinkan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi melalui BUMN menjadi terabaikan.
Dalam prakteknya akhirnya dapat kita lihat, BUMN itu akhirnya lepas dari kendali masyarakat dan rakyat hanya jadi obyek komersialisasi dari usaha usaha BUMN. BUMN itu akhirnya banyak yang justru bertentangan dengan tujuan pencapaian kesejahteraan rakyat. Sebut saja misalnya dalam kasus yang konflik agraria misalnya, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), justru konflik tanah antara rakyat dan BUMN itu menjadi yang tertinggi di Indonesia.