Oleh : Suroto*
Ide saya tentang pengkoperasian BUMN atau kooperativisasi BUMN itu bukan ide pembubaran koperasi. Banyak orang yang salah menangkap ide yang saya sampaikan tanggal 31 Januari 2024 lalu di Jalan Brawijaya X No. 46, atas undangan resmi sebagai narasumber dalam diskusi yang diinisiasi oleh Tim Pemenangan Nasional Capres-Cawapres AMIN (Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar).
Pengkoperasian BUMN dari model badan hukum perseroan menjadi badan hukum koperasi itu justru tujuannya untuk pengkonversian BUMN dari badan hukum Persero kapitalis menuju kepemilikan demokratis oleh rakyat langsung melalui sistem Koperasi. Agar rakyat tetap memiliki kendali atas asset strategis negara di BUMN, agar rakyat tidak jadi korban komersialisasi dan komodifikasi BUMN, agar BUMN menjadi lebih transparan dan demokratis, agar rakyat juga dapat turut menikmati usaha usaha BUMN secara langsung.
Sejak ditetapkanya UU BUMN tahun 2003, semua BUMN diarahkan untuk diprivatisasi. Sayangnya di UU BUMN tersebut hanya berikan peluang ke Badan Hukum Perseroan. Koperasi sebagai bentuk badan hukum tidak diberikan peluang dan hal ini dikunci di UU BUMN Pasal 9, dimana hanya perkenankan bagi badan hukum perseroan.
Sehingga BUMN yang ada, ketika dilakukan privatisasi, saham saham publiknya dikuasai hanya oleh mereka yang punya uang, bahkan dimiliki asing. Sudah banyak BUMN yang terdilusi (berkurang sahamnya) dan pemerintah tidak mayoritas lagi. Sehingga tujuan BUMN itu justru banyak yang bertentangan dengan kesejahteraan rakyat.
BUMN dengan badan hukum Perseroan memang memungkinkan untuk terjadinya dilusi saham dari BUMN tersebut. Sebab otoritas dari pemegang sahamnya adalah Pemerintah yang diwakili Presiden dan didelegasikan ke Menteri BUMN dalam operasionalnya.
Proses dilusi sahamnya itu biasanya dimulai dengan adanya kondisi internal perusahaan BUMN yang terancam gagal bayar karena utangnya yang membengkak atau krisis ekonomi. Lalu dengan mudahnya BUMN dapat beralih dari kuasa pemerintah.
Nah masalahnya adalah beralih sahamnya ke masyarakat yang mana? Adalah masyarakat yang punya uang. Sebut saja misalnya saham publik Bank BRI yang 46,81 persen sudah dimiliki publik. Saham publiknya dimiliki hanya oleh orang orang yang punya uang. Dari 310.427 pemegang saham BRI itu hanya segelintir orang yang miliki saham dalam jumlah besar dan 92 persen adalah orang asing.