Oleh : Hartoyo*
Mungkin ada kesalahan publik menilai ormas agama. Sepertinya publik menilai ormas agama itu institusi “suci” tanpa noda dan menjaga moral umat dan segala label baik/buruk dilekatkan.
Padahal ormas agama itu kumpulan orang-orang dengan beragam kepentingan yang kemudian membuat institusi atas nama agama.
Tentu orang-orang tersebut, ada yang benar-benar tulus atas nama nilai tapi ada juga atas nama kepentingan kekuasaan, politik dan uang.
Makanya kalau mau jadi ketua atau pimpinan ormas agama juga ada praktek lobby-lobby politik, bahkan tak jarang ada transaksi uang di sana sini. Jadi ormas agama ini real politik dan kekuasaan terjadi, mau agama apapun.
Karena di dalam ormas agama ada manusia-manusia dengan beragam kepentingan itu, maka program-programnya juga penuh ragam kepentingan.
Kalau soal proyek, bidangnya juga bukan hanya satu, ada proyek pendidikan, kesehatan, pertanian, pedesaan, termasuk proyek agama.
Dimana ada peluang dan uang, ya sangat mungkin disambar saja. Baik dari proyek pemerintah, lembaga donor asing maupun perusahaan, semua bisa berpotensi jadi sumber proyek ormas agama.
Mungkin publik belum banyak yang tahu, bahkan ormas agama bisa ambil proyek soal HIV dan isu TB yang di dalamnya harus berurusan dengan kelompok pekerja seks, transpuan dan homoseksual.
Pada moment itu, Aku pernah menyaksikan sendiri ketika komunitas gay dan transpuan berkumpul/rapat rutin di kantor ormas agama tersebut, bahkan sangat dekat hubungannya dengan pimpinan ormas agama tersebut.
Tapi sayangnya proyek HIV itu tidak cukup panjang dijalankan oleh ormas agama tersebut. Infonya karena ada persoalan pertanggungjawaban dan sumberdaya yang tersedia tidak sebanding dengan sumberdaya yang dikeluarkan.
Itu semua bisa dilakukan oleh ormas agama dengan beragam kepentingan. Apakah itu cara yang baik atau buruk, ya tergantung niat orang-orang di dalam ormas agama itu dan publik menilainya. Tapi point yang ingin Aku sampaikan, bahwa ormas agama bisa punya program apapun, dari A sampai Z kuadrat.
Sekarang ada kebijakan yang membolehkan keterlibatan ormas agama diberikan izin kelola tambang. Seketika publik jadi heboh.
Mungkin ada imajinasi yang sangat paradoks, ormas agama yang dianggap suci kenapa mau mengelola tambang yang dikonotasikan kegiatan buruk? Disitulah awal pijakan pikir yang bermasalah menurutku.
Kita bisa mundur sedikit berefleksi; Apakah praktek kegiatan tambang yang terjadi di Indonesia semuanya buruk? Mungkin publik dan data lapangan lebih bisa mengungkapkan itu semua. Tapi prakteknya proyek tambang terus terjadi.
Mungkin karena itu ormas agama mau ikut andil dengan segala motif dan tujuannya.
Pertanyaan kenapa ormas agama? Apakah ormas agama punya keterampilan mengelola tambang?
Kalau pertanyaan itu muncul pada diri Anda, menurutku itu pertanyaan yang terlalu polos dan naif.
Seperti yang Aku sampaikan di atas, ormas agama di dalamnya ada banyak manusia dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang beragam. Termasuk anggota ormas agama juga ada yang paham dan pengalaman di isu tambang.
Kalaupun tidak ada yang paham soal tambang di pengurus ormas agama, ya bisa cari anggota ormas yang ahli tambang atau cari profesional di luar organisasi yang bisa urus proyek tambang.
Kalau soal pengelolaan atau mencari keterampilan untuk mengurus tambang, itu teknis banget menurutku. Ormas agama sudah biasa mengelola proyek dengan beragam isu.
Selama ini ormas agama ketika menjalankan proyek-proyek juga melibatkan ahli di bidang itu. Bahkan satu usaha rumah sakit yang dikelola ormas agama A, bisa saja dokter ahli dan perawatnya bukan beragama A.
Karena proyek itu soal bisnis, jadi bisa dijalankan secara profesional saja, oleh siapapun. Termasuk oleh ormas agama.
Tapi kenapa ormas agama ngurusin tambang?
Kalau masih ada pertanyaan itu, artinya Anda kurang jauh mainnya untuk melihat realitas kelakuan atau proyek yang dikelola oleh ormas agama selama ini ada.
Bukankah ormas agama itu institusi yang “sakral, suci” dan diisi oleh orang-orang mulia dan terpilih?
Nah, kalau itu masih ada dalam pikiran Anda, artinya Anda masih dalam “kesesatan” pikir dalam melihat ormas agama sebagai institusi politik.
Jakarta, 8 Juni 2024
*Beragama secara adminduk, bukan anggota ormas agama.