FRD: Penganugerahan Jenderal Kepada Prabowo Subianto Lukai Hati Korban

JAKARTA | FlobamoraNews – Penganugerahan pangkat Jenderal bintang empat kepada Menhan Prabowo Subianto menuai respon negatif dari korban dan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1996-1998, yang tergabung dalam Front Rakyat Demokratik (FRD). Mereka menganggap bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo ini telah melukai hati keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa.

Petrus Hariyanto, Juru Bicara FRD (Forum Rakyat Demokratik) untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa menyatakan bahwa keputusan Presiden Jokowi memberi kenaikan pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto semakin membuktikan bahwa Presiden Jokowi telah melanggengkan impunitas dengan semakin menjauhkan pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus penculikan/penghilangan paksa aktivis demokrasi pada 1997-1998 dari proses hukum.

“Presiden Jokowi juga semakin melukai hati keluarga korban penghilangan paksa dengan tidak memenuhi janjinya untuk mengembalikan para korban dan justru mengembalikan pelaku ke kursi kekuasaan tertinggi negara,” kecam Napol yang pernah mendekap di penjara saat pemerintahan Soeharto.

Aktivis ’98 ini juga menilai sikap dan kebijakan Presiden Jokowi telah menginjak-injak perjuangan rakyat dalam meruntuhkan tirani otoritarianisme Orde Baru dan membangun demokrasi dengan pengorbanan dan nyawa para pejuang demokrasi.

Petrus Hariyanto menilai bahwa Prabowo terbukti dipecat dari dinas militer oleh Dewan Kehormatan Perwira, sekitar bulan Agustus 1998, dengan alasan melanggar Sapta Marga, sumpah prajurit, etika keprajuritan, serta penghilangan paksa aktivis 1997/1998, dan apa yang dilakukan Prabowo Subianto tersebut masuk dalam katagori tindak pidana militer.

Dalam dokumen tersebut, selain menculik aktivis, Letnan Jenderal Prabowo disebutkan melaksanakan dan mengendalikan operasi dalam rangka stabilitas nasional yang bukan menjadi wewenangnya tetapi menjadi wewenang Panglima ABRI (Pangab). Tindakan seperti tersebut di atas berulang-ulang dilaksanakan yang bersangkutan, seperti pelibatan Satgas di Tim-Tim dan Aceh, pembebasan sandera di Wamena Irian Jaya (Papua), pelibatan Kopassus dalam pengamanan presiden di Vancouver, Kanada.

“Prabowo Subianto adalah contoh Perwira Tinggi ABRI yang berkelakuan buruk dan suka melawan atasan,” tegas teman Budiman Sudjatmiko di LP Cipinang tahun 1996 sampai dengan 1999 ini.

Menanggapi Kapuspen TNI yang menyatakan bahwa Prabowo diberhentikan secara terhormat sehingga memenuhi syarat kelayakan menerima kenaikan pangkat kehormatan, Petrus Hariyanto menambahkan bahwa pengetahuannya menyebutkan bahwa diberhentikan secara terhormat biasanya terjadi saat memasuki masa pensiun. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Prabowo dipecat dari ABRI saat itu karena menculik aktivis dan sering melakukan aksi sendiri tanpa perintah atasan ABRI.

“Pernyataan Kapuspen ABRI itu manipulasi sejarah dan mencoreng nama baik TNI sendiri,” kecamnya.

Menurut Petrus Hariyanto, sebagai Presiden, Jokowi seharusnya melaksanakan empat rekomendasi DPR RI tentang Penghilangan Paksa Aktivis Tahun 2009, salah satunya adalah menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili Prabowo Subianto, bukan justru memberikan kenaikan pangkat kehormatan.(Gen)

 

Redaksi

Portal berita online regional Flobamora

http://flobamoranews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *