“KALAU SU DUDUK DAN SANDAR ENAK, JANGAN LUPA BADIRI”– Regenerasi Kepemimpinan Menurut Orang Rote

Oleh: Matheos Viktor Messakh*

Persoalan duduk dan bersandar bukan persoalan abadi menurut orang Rote. Bagaikan peribahasa populer yang berkata “Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya.” Untuk menggambarkan hal ini orang Rote biasa bersyair demikian:

Nggonggo tutu batu la tao ela latunggonggo.
ma Lima Lalai Ai kala peda ela engga lima.
Fo luma langgatuu basa, na luma langgatuu bali.
ma luma lasalai basa, lu luma lasalai bali.

Satu bait peribahasa ini dapat dicari hubungannya ke dalam tradisi mendirikan ‘tutus’ di kalangan orang Rote. Tutus adalah sejenis ‘tempat duduk’ khusus — sebuah lingkaran batu-batu yang disusun di sekitar pohon besar. Dahulu, tutus digunakan sebagai titik seremonial untuk pelaksanaan ‘ritual asal-usul’ klan yang dikenal sebagai hus (istilah, seperti huk, berasal dari akar kata hu, yang berarti ‘dasar’ atau ‘batang’ pohon, ‘asal-usul’, atau ‘penyebab’).

Tutus ini bukan sekedar tempat duduk biasa namun didirikan lewat ritual untuk peringatan tertentu dan kemudian digunakan sebagai tempat membicarakan hal-hal penting dan pengambilan keputusan.

Tutus berkaitan dengan suksesi dan dengan ingatan nama-nama dalam pengertian mendasar lainnya. Istilah tutus berasal dari akar kata tu, ‘(untuk) duduk’: nanga-tu adalah kata kerja ‘duduk’; tutuk adalah ‘tempat duduk’ (Jonker 1908: 646).

Pada upacara asal-usul tahunan inilah daftar lengkap nama-nama silsilah kelompok dibacakan, dimulai dari ‘asal-usul’ (hu) kelompok dan berlanjut, dalam suksesi yang tepat, hingga generasi yang masih hidup.
Tutu klan yang paling awal adalah monumen untuk asal-usul klan dan tutus itu sendiri adalah tempat nama-nama yang berasal dari asal-usul ini. Itu adalah titik fundamental dari perhitungan silsilah.

Redaksi

Portal berita online regional Flobamora

http://flobamoranews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *